Rabu, 02 Juli 2008

Imunitas Muslimah

Sejenak, Merenungi kembali Imunisi Kita!
Oleh: Ummu 'Ubaidah al-Hasan

Setiap kebangkitan generasi, pasti ada peran besar di balik itu. Kita sangat kenal dengan sosok seorang sahabat Rasululullah saw. yang pertama kali dilahirkan di Madinah setelah peristiwa hijrah. Yaitu Abdulullah bin Zubair r.a.
Bila kita tilik lebih dalam sejarah beliau, kita akan menemukan banyak rahasia di balik ketegarannya. Di saat anak-anak Madinah ketika itu mulai mengungkapkan kata-kata “Ummi... ummi...! Maka sosok yang bernama Abdullah mengungkapkan kalimat yang berbeda dengan rekan-rekannya. Saif-saif “Pedang-pedang”. Ini untaian pertama yang keluar dari lisan sang pejuang di kala usia beliau pertama kali bisa merangkai kata-kata.



Tentu kita balik bertanya, apa kira-kira yang membuat sahabat ini bisa terlahir dengan tampil beda di zaman generasi terbaik saat itu? Para ulama Sirah menerangkan, bahwa di balik itu ada peran besar yang mebuat sosok Ibnu Zubair ini tumbuh sampai akhir hayatnya tegar di jalan perjuangan hingga menemui Allah gugur sebagai syahid ketika mempertahankan kekhilafahan. Peran itu tak lain “Ummun min khairi shahabati Ahmadin Turabbiihi”. Seorang ibu yang berasal dari keturunan sahabat terbaik yang mengkadernya. Beliaulah Asma’ binti Abi Bakar.

Ketegaran sang Asma’-lah yang mewarnai kegigihan sang putranya. Terbukti ketika Ibnu Zubair hendak berangkat ke medan laga melawan gerombolan yang ingin mengambil alih kursi kekhilafahan. Sang anak bertutur dengan nada yang agak lembut dan berperawakan kurang meyakinkan saat itu. Sang ibu pun berucap “Wahai anakku, kalau engkau mendambakan syahid di jalan Allah, maka tolong ganti pakaianmu segera, kuatkan ikat pinggangmu, tukar jubahmu dengan celana perang”. Tak lama kemudian, setelah perang berkecamuk Ibnu Umar datang memberitakan kabar duka. Sambil terisak-isak Ibnu Umar meluapkan rasa sedihnya ketika memberitahu Asma’ tentang syahidnya Ibnu Zubair di tiang salib. Asma’ yang ketika itu sudah berusia sembilan puluhan tahun, justeru balik menjawab “Yabna Umar, tsaqilatka Ummuk... “Duhai Ibnu umar, celaka engkau... Kesyahidan puteraku inilah yang ku rindu dan dambakan ketika membela dakwah Allah”.

Rekan pembaca semua, sekilas kisah di atas tentu mewariskan banyak makna kepada kita. Terlebih, kita hidup di zaman yang sudah jauh dari sosok-sosok seperti Asma’ di atas. Di tengah pekatnya zaman dan krisisnya generasi yang akan mampu meneruskan obor perjuangan generasi terbaik sebelum kita, tentu kita begitu rindu melalui lembaran hidup ini bila impian tertinggi kita terwujud kembali. Yaitu kembalinya kejayaan Islam. Namun, kejayaan ini tentu tidak akan bisa terwujud begitu saja tanpa ada peran sang al-Akhawat al-muslimat yang selalu mengisi imunisi tanpa henti mendampingi kaum Rijal dalam meretas perjuangan bersama. Karena walau bagaimanapun, dua sisi peran ini tak bisa terpisah dari sebuah agenda besar, yaitu kembalinya islam memimpin dunia. Melalui tulisan sederhana ini, kami ingin mencoba mengungkapkan beberapa untaian yang bila terlupakan oleh saudari-saudari kami dari kaum hawa, tentu makna hakiki dari perjuangan untuk mencapai agenda besar itu semakin mustahil untuk kita wujudkan. Semoga penulis dan pembaca diberi taufiq oleh Allah untuk meresapi makna pesan-pesan ini, kemudian mengimplementasikannya dalam rupa gerak dan tindak, semoga.

 Imunisi Wanita Baja
Sejauh sejarah pejuang –kaum hawa- yang punya andil dan peran besar setiap zaman, penulis punya kesan tersendiri dari perjalanan hidup mereka. Kesan ini yang mengantarkan penulis untuk menggoreskan nilai-nilai yang hendak kita petik pada kolom ini. Satu hal yang mungkin di akhir-akhir ini mulai terlupakan oleh kalangan akhawat kita, yaitu; Generasi terdahulu tak pernah berhenti untuk selalu membenahi, mengaca diri, dan senantiasa mengisi imunisi dalam setiap gerak dan aksi untuk memperbaiki problematika yang ada sepanjang zaman. Berikut penulis paparkan;
Pertama; Jujur kepada diri sendiri. Kualitas kejujuran wanita muslimah terhadap dirinya terlihat bukan saja ketika dia sendirian, dalam artian ketika peluang tantangannya sangat sedikit. Tapi wanita yang jujur dengan diri dan kemuliaan harga dirinya secara hakiki, takkan mudah menanggalkan keagungan dirinya sekalipun dengan perkara yang kecil, ibarat menjaga mutiara surga yang sangat mahal disimpan ditempat yang kokoh. Dikunci dan dijaga seketat mungkin. Wanita yang mau menghargai diri dan potensi dirnya yang dianugerahkan Allah SWT kepadanya selalu berusaha memperbaiki diri, menjaga diri, memelihara kecantikan terdalam; yaitu mahabbah kepada Ilahi Rabbi, yakin dengan pandangan dan balasanNya. Pandangan makhluk tak bernilai apa-apa dalam kepribadiannya. Juga kita dapat mengukur realita kejujuran kita pada diri sendiri, ketika kita berkumpul dengan sesama, kita bisa merenungi seberapa mampu kita menjaga mulut kita. Mulai dari perkataan yang sia-sia, mencampuri urusan saudara kita, memamerkan kelebihan, sampai keluar dari lisan kata-kata yang melukai perasaan saudara. Sebab pribadi yang senantiasa menjaga kejujuran hati, dirinya akan selalu terasah dengan kehati-hatian dalam berbuat.
Kedua; Istiqamah. Satu hal yang ingin kita fokuskan pada poin ini adalah; bagaimana kita mampu untuk selalu meningkatkan kualitas taqarrub kita kepada Allah dengan kontiniu. Baik itu berupa tilawah al-Quran, qiyamullail,shaum sunnah, dzikrulmaut, dan sebagainya. Karena, wanita adalah kaum yang mudah tergoda, mudah terbawa arus dan perkembangan peradaban. Tampilan diri di mana ia berada, merupakan sumber kekuatan bagi siapa yang tengah menimba dari kesalehannya. Suatu kebanggaan yang sangat berkena di hati Rasulallah SAW, betapa kesetiaan dan keistiqamahan istrinya Khadihjah Radhiallahuanha, merupakan salah satu sumber imunisi bagi diri beliau dalam berdakwah. Hal ini tercurah dalam mutiara kata-kata sang ummul mukminin Khadijah ketika Rasulullah saw. bersedih dan merasa gundah ketika disakiti oleh penentang dakwah islam, dan sepulangnya beliau dari menerima wahyu dalam keadaan menggigil dan minta diselimuti: “Duhai rasululluah, sesungguhnya engkau adalah orang yang selalu menyambung tali shilaturrahim, membantu yang lemah, menolong yang sedang membutuhkan...”. Untaian mutiara inilah yang kembali menguatkan semangat rasulullah ntuk kembali bergerak melangkah menyiarkan hidayah islam.
Ketiga; kesalehan sosial. Kesolehan sosial akan melatih kepribadian wanita muslimah untuk ikhlas bekorban dalam sekecil apapun dijalan yang dicintai Allah, bahkan akan mengalahkan seseorang yang hanya memikirkan keholehan pribadi. Kita lihat sosok Ummu Ruman radhiallahu ‘anha. Istri Abu Bakar Ashshiddiq. Dengan kesucian hati dan penuh bangga beliau mendukung perjuangan suami demi tegaknya perjuangan dakwah ketika itu. Bahkan, ketika Abu Bakar menginfakkan segala hartanya, sang istri pun menjadi promotor pertama yang menguatkan hati sang suami. Nilai kesalehan sosial inilah yang membuat Ummu Ruman diabadikan dalam sejarah.
Keempat; Membekali diri dengan keterampilan.
Kelima; Memikirkan Generasi penerus dengan matangnya persiapan. Tidak jauh dari zaman kita, sebuah tragedi yang mengukir sejarah emas perjalanan dakwah di zaman sekarang. Seorang pejuang yang berhasil mengumpulkan jutaan pemuda, memasuki ribuan perkampungan yang ada di Mesir, meretas dunia dengan ide dan gagasannya. Beliaulah Hasan Albanna rahimahullah. Di balik kesuksesan sang Imam dalam berdakwah, ada satu hal yang mungkin kurang terpetik oleh para pengikutnya. Yaitu sang istri yang begitu tegar, sabar dan ikhlas mengorbankan apa saja demi perjuangan sang suami tercinta. Baik waktu, tenaga, perasaan, bahkan cinta sekalaipun beliau korbankan demi mendahulukan kepentingan dakwah Allah ta’ala.

Hal ini terbukti ketika salah seorang anak beliau jatuh sakit. Ketika sang suami minta keredhaan sang istri untuk berangkat ke sebuah propinsi di Mesir, beliaupun dengan senang hati, wajah ceriah dan memberikan imunisi balik kepada imam Hasan. Bahkan, di hari syahidnya Hasan Albanna, di hari itu lahir anak beliau yang paling bungsu. Ini membuktikan, bahwa ketegaran beliau memang tiada tertandingi oleh orang semasanya. Tidak aneh bila sang suami pun menjadi pentolan mujahid nomor wahid dalam sejarah kebangkitan islam di era sekarang.

Satu hal yang membuat istri Imam Hasan dengan penuh keikhlasan melepas sang suami dalam setiap momen dakwahnya. Yaitu; Betapa masa depan dakwah begitu merindukan lahirnya sosok-sosok penerus yang bisa mengukiri dunia dengan jiwa kepahlawanan dalam membela islam. Yang mana, tujuan mereka hanyalah keredhaan Allah semata, teladan tertinggi mereka hanya Muhammad Saw., pedoman mereka hanya al-Quran dan sunnah, jalan mereka hanyalah dakwah dan jihad fi sabilillah. Dan terakhir, hidup mulia atau syahid di jalan Allah adalah cita-cita tertinggi dalam hidup mereka.

 Kesejukan itu Bermula Dari Sini

Cinta. Kata ini sangat mudah untuk kita ungkapkan. Tetapi jarang sekali yang mampu menterjemahkannya dalam bentuk aksi dan sikap. Namun kata cinta ini tentu juga punya aturan main dan posisi yang tepat. Bila cinta tertinggi kita hanya untuk Allah dan rasul-Nya, dan memandang segala hal dengan kata tersebut semata juga karena Allah. Maka pengorbanan yang walaupun begitu berat menurut kasat mata, akan berobah menjadi aksioma nyata dalam bentuk pengorbanan yang tiada tertandingi. Semuanya akan fresh dan sejuk, bila perjuangan kita, imunisi kita, didasari dengan ketulusan cinta itu. Wallahu a’lam.

Ummu Yusuf al-Hasan; Deska Meria

0 komentar: