Tampilkan postingan dengan label Pergerakan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pergerakan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 05 Juli 2008

Berdakwah dengan Bahasa Hati

Terkadang kita terjebak pada keangkuhan intelektual kita dalam menyampaikan dakwah ini. Seolah-olah obyek dakwah yang kita dakwahi akan terpesona dan mengikuti dakwah ini berdasar ribuan argumentasi yg kita kemukakan. Padahal sejatinya dakwah ini adalah menyentuh hati, karena di hati inilah nanti hidayah Allah akan dicurahkan sehingga dia akan turut serta bersama lingkaran dakwah ini. Oleh sebab itu Allah me"ralat" do’a nabi Ibrahim dalam surat Al Baqarah yg mengedepankan tu’alimunal kitab dari pada tuzakkihim, Allah meluruskan dalam surat Al-Jumu’ah dengan terlebih dahulu mengedepankan Tuzakkihim baru tu’alimunal kitab. Dari sini kita bisa ambil hikmahnya betapa sentuhan hati itu lebih utama dari pada transfer pengetahuan, sebab kalo hati masih tertutup maka pengetahuan dan argumentasi sehebat apapun jadi nihil atau bahkan jadi bumerang yg membuat mereka semakin jauh. Alih-alih dia ingin dekat dengan kita malah dia semakin jauh karena sikap kita.



Ikhwani fillah, kadang yang terlihat secara kasat mata, dia berseberangan secara pemikiran bahkan ideologi dengan kita, namun dengan mata hati kita bisa melihat betapa dekatnya kita dengan obyek dakwah kita. Tak ada bahasa apapun di dunia ini yang bisa mengalahkan bahasa kasih sayang dan cinta kasih. Hati mana yg tidak luluh oleh ketulusan cinta dan kasih sayang yg kita siramkan di hati obyek dakwah kita setiap hari. Meskipun awalnya dia begitu membenci dan memusuhi kita, tidak mustahil batu yg begitu keras akan lunak juga oleh tetesan air setiap hari. Mungkin masih segar di ingatan kita tentang sirah Rasul yg dengan bahasa kasihnya menyebabkan seorang kafir Quraisy yg tiap hari melempari kotoran ke tubuh beliau akhirnya masuk Islam, hanya karena rasulullah menjenguk dia tatkala sakit. Itulah bahasa kasih, yg tak perlu logika dan argumentasi, yg tak butuh ribuan dalil dan ratusan hujjah. Demikianlah kekuatan hati, kekuatan yg bisa menembus relung yg tak bisa dijangkau kekuatan manapun di dunia ini dengan izin Allah SWT. Asy-Syahid Sayyid Qutb telah menunjukkan bukti tentang kekuatan ini, sebelum beliau syahid di tiang gantungan, beliau sempatkan berdakwah lewat hati dengan sebuah senyuman pada sang Jagal. Yang akhirnya sang Jagal menerima dakwah ini hanya karena begitu sulit melupakan senyuman manis dari sang Syahid Sayyid Qutb. Senyuman yg berasal dari hati yg paling dalam yg berhulu pada mata air cinta kasih kepada sesama insan yang ditaburi oleh nur Ilahi sehingga akhirnya mampu bermuara pada hati yg kering dan tandus yg butuh air kasih dan hujan nur Ilahi.

Ikhwani fillah, masing-masing kita punya hati, yg dibekali Allah untuk menemukan hati-hati lain yang menunggu siraman kasih dan curahan cinta Ilahi dari hati kita. Maka marilah kita berikan hati kita untuk kita curahkan cinta kita, perhatian kita, kasih sayang kita pada mereka obyek dakwah kita, sehingga kita seperti gambaran Allah dalam surat Ibrahim ayat 14:
" …Seperti pohon yg akarnya menghujam ke bumi dan cabangnya menjulang ke langit, yang memberi buah bagi orang yg lewat disekitarnya, dan menyenangkan bagi orang yg memandang dan berteduh dibawahnya……"

Wallahu’alam bisshowab
Hadhi MA
…………………………

Selanjutnya

Selasa, 01 Juli 2008

Bidadari Seorang Pendiri Pergerakan

Adalah Lathifah As Suri perempuan itu. Ia berdiri disamping Imam Syahid Al Banna. Sejak awal Imam Syahid telah menegaskan bahwa ia butuh seorang muslimah yang kokoh, yang tak lekang dan surut oleh banyaknya halangan dan rintangan dalam berdakwah.
----------

Tidak mudah menjadi istri seorang Hasan Al Banna. Seseorang yang setiap detik kehidupannya sarat dengan kegiatan dakwah. Di pagi buta dia sudah bergegas untuk memulai berdakwah dan kembali pulang di gelap malam. Bisa dipastikan ia adalah seorang muslimah sejati, yang bisa mengisi kekosongan-kekosongan yang ditinggalkan oleh Imam Syahid Al Banna.



Adalah Lathifah As Suri perempuan itu. Ia berdiri disamping Imam Syahid Al Banna. Sejak awal Imam Syahid telah menegaskan bahwa ia butuh seorang muslimah yang kokoh, yang tak lekang dan surut oleh banyaknya halangan dan rintangan dalam berdakwah. Perjuangan Imam Syahid bukanlah suatu hal yang main-main, bukan hanya sekedar dakwah seperti kebanyakan orang waktu itu. Bukan hanya sekedar membangun rumah kardus. Imam syahid tengah dan hendak membangun sebuah peradaban. Dan ia percaya, peradaban tak akan pernah terwujud, tanpa seseorang yang ia yakini kesejatiannya.

Maka siapapun itu-pendampingnya-harus menyadari bahwa dipundaknya ada amanah yang sama besarnya dengan yang di emban oleh Imam Syahid. Ada dimensi waktu dan kuasa kapital disitu. Maka pertemuan diyakini menjadi suatu hal yang mahal bagi Imam Syahid dan istrinya.

Maka bagi Lathifah As Suri menjadi istri Hasan Al Banna menyimpan begitu banyak geregap. Sejak awal pernikahan, Lathifah sudah menyadari bahwa ia harus siap jika sewaktu-waktu dia harus menjalani hidup sendiri tanpa seseorang, tempat berlabuh hidup dan cintanya.

Dakwah Ikhwah yang dipimpin oleh suaminya banyak meminta resiko yang bukan main-main. Penjara bahkan nyawa menjadi konsekuensi logis, yang sewaktu-waktu siap menyapanya.

Tanpa diminta, Lathifah sudah tahu dan mengerti bagaimana ia harus menempatkan dirinya. Ia memutuskan menutup seluruh aktivitas luarnya. Hanya satu yang ia curahkan, jihad utamanya adalah dilingkup rumahnya sendiri. Mengurus rumah tangga dan membesarkan anak-anak mereka berdua adalah dua hal yang tidak kalah pentingnya dengan yang dilakukan oleh Hasan Al Banna.

Sebelum menikah dengan Hasan Al Banna, Lathifah berasal dari keluarga yang taat beragama. Hingga tak heran jika ia menyadari betul tuntutan hidup menjadi istri seorang dai.

Malam, ia harus rela untuk terbangun menyambut kepulangan suaminya. Walau tak jarang Imam Syahid berlaku sangat hati-hati, bahkan hanya untuk membuka pintu rumahnya sekalipun. Jauh dilubuk hatinya, Imam Syahid tidak ingin mengganggu tidur bidadari terkasihnya yang telah seharian mengurus rumah dan anak-anak mereka berdua. Imam Syahid bahkan tak segan untuk menyiapkan makan malam untuk dirinya sendiri.

Lathifah tidak pernah mengeluh, walau sehari-harinya hanya ia habiskan seputar rumah dan rumah saja. Ia tidak pernah menuntut lebih kepada Imam Syahid. Padahal, Lathifah pun -berlepas diri dari ia seorang istri Imam Syahid- menyimpan banyak potensi. Anak-anak mereka yang berjumlah enam orang sesungguhnya adalah pencurahan konsentrasinya menjalani hidup. Satu-satunya yang pernah membuat dirinya gamang adalah, ketika salah satu anak mereka sakit keras dan Imam Syahid harus tetap menjalankan jihadnya. Ia bertanya kepada suaminya,"Bagaimana jika ia meninggal?". Imam Syahid hanya menarik napas panjang, ia kemudian berujar "Kakeknya lebih tau bagaimana mengurusnya."

Sejak dini, Lathifah menanamkan wawasan keislaman kepada anak-anaknya. Mendorong mereka untuk membaca, sehingga dalam hidupnya mereka tidak terpengaruh dengan seruan-seruan destruktif. Ketika Imam Syahid bolak-balik keluar penjara, Lathifah berusaha bersabar dan komitmen.

Lathifah sangat menyadari peran dan kewajiban asasi seorang wanita sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya. Ia kosongkan waktunya untuk mendidik anak2nya. Ia bahagia melihat anak-anaknya sukses dalam hal akhlak dan amal. Ini tak mungkin terjadi jika seorang ibu sibuk di luar rumah. Seorang anak tidak mungkin belajar tentang akhlak dan amal dari orang selain ibunya.

Ketika Hasan Al-Banna syahid, anak-anaknya belumlah dewasa. Lathifah tidak lantas menyerah. Tak ada kesah ataupun ketakutan dalam hatinya. Ia sangat memelihara apa yang dikehendaki oleh mendiang suaminya. Ia tetap berlaku didalam rumah. Lathifah tidahk meremehkan hudud (batasan) yang Allah tentukan. Karenanya, tak heran diantara anak-anaknya tidak ada ikhtilat (percampuran) antara anak-anaknya dan sepupunya yang berlainan jenis.

Tidak ada yang berubah dirumah itu, apa yang Imam Syahid inginkan berlaku dikeluarganya masih tetap di pegang teguh oleh Lathifah. Sendirian, ia besarkan keenam anaknya. Dirumahnya kini ia mempunyai tugas tambahan, yaitu memperdalam wawasan keislamannya.Yang dimaksud dengan wawasan keislamannya adalah membaca Al-Quran dengan tafsirnya, mempelajari Sunnah Rasulullah SAW, haditsnya dilanjutkan dengan usaha kuat untuk menerapkannya. LAthifah juga masih menyempatkan diri mempelajari sejarah para salafussalih dan berita seputar dunia Islam. Lathifah menyadari menyepelekan masalah ini akan memunculkan persoalan serius. Seorang yang tidak menambah pengetahuan keislamannya, akan merasa sulit untuk bangga dengan keagungan dan kebesaran Islam. Dengan melalui pemahaman keislaman yang baik, seorang wanita akan menyadari betapa penting perannya terhadap keluarga dan masyarakat.

Perjuangan Lathifah membuahkan hasil yang gemilang. Semua anaknya sukses meraih predikat formal dalam pendidikan ilmiah. Yang sulung, bernama Wafa-menjadi istri Dr.Said Ramadhan. Kedua Ahmad Saiful Islam, kini sebagai sekjen advokat di Mesir. Ia juga pernah duduk di parlemen. Ketiga bernama Tsana, kini sebagai dosen di Universitas Kairo. Kelima Roja, kini menjadi dokter. Dan Halah sebagai dosen kedokteran anak di Universitas Azhar. Dan terakhir, Istisyhad sebagai doktor ekonomi Islam. Semuanya itu sebagai bukti, betapa berartinya sosok Ibu bagi keberhasilan dakwah sang suami. Selain juga untuk anak-anaknya, tentu.

**********************

Sekedar info tambahan:

Hasan Al Banna syahid diusianya yang masih muda, sekitar 40 tahunan. Setelah seberondong timah panas ditembakkan oleh musuh-musuh Islam di sebuah jalan di Kairo.

Sebenarnya Hasan Al Banna masih bisa diselamatkan, tapi karena konspirasi politik para musuh Islam yang dipimpin oleh sang pengkhianat la'natullah Gamal Abden Naser, membuat tubuh Hasan Al Banna yang sedang sekarat dibiarkan tak berdaya, tanpa bantuan dari siapapun juga, termasuk dokter-dokter di Rumah Sakit.

Akhirnya sang pendiri Ikhwanul Muslimun itu pun syahid menemui kekasih tercintanya, Rabbnya.

Musuh-musuh Islam pun banyak yang tertawa dan berpesta dengan syahidnya sang Imam, tapi sesungguhnya Hasan Al Banna tidak pernah pergi meninggalkan pengikutnya.

Allah terlalu mencintai hamba-Nya yang satu ini, sehingga memanggilnya terlebih dahulu.

Hal yang memilukan adalah, meskipun Ikhwanul Muslimun mempunyai puluhan ribu pengikut, tapi tak seorangpun yang diijinkan untuk mensholati jenazah beliau, kecuali ayahnya yang sudah udzur, saudara perempuan dan istrinya.

Selanjutnya