Rabu, 02 Juli 2008

Perayaan Maulud Nabi Muhammad Saw..

“Antara yang Membolehkan dan Melarang”
Oleh: Hendri Susanto, Lc

 Prolog: Sunnatullah Perbedaan
Sepanjang sejarah, kita akan menemukan selalu beberapa permasalahan dalam konteks perbedaan sudut pandang dalam menyikapi seputar ruang lingkup –terbukanya–pintu berpendapat . Terutama seputar masalah hukum yang ada di dalamnya ruang untuk saling mengemukakan dalil. Hal ini merupakan sebuah nilai positif bila kita lihat dengan penuh seksama. Karena melahirkan beragam ilmu dan kemudahan bagi umat. Tentunya selama norma-norma dalam perbedaan –yang tak dapat dipungkiri– tersebut dibingkai dalam nuansa penuh hikmah dan dewasa.



Realita para ulama terdahulu kita telah mewarisi hal tersebut. Tidak heran bila kita lihat dalam bentangan kitab-kitab turats bila seorang murid tidak sependapat dengan gurunya. Cuma ada nilai besar yang ingin penulis tuangkan secara singkat saja dalam makalah sederhana ini. Yaitu: Senantiasa menjaga normatif yang menyebabkan kelanggengan hubungan secara harmonis dalam ruang lingkup Al-Mutaghayyirat. Bukan hal-hal yang tidak terbuka lagi tinjauan dan ruang berpendapat di dalamnya. Inilah yang disebut dengan Al-Tsawabit dalam agama kita.

Menilik permasalahan yang tengah kita kaji. Yaitu: Tentang peringatan maulud Nabi Muhammad Saw.. Bagi penulis merupakan hal yang berada di luar pokok-pokok ajaran Islam yang tak bisa diotak-atik lagi. Di samping hal ini juga ada perbedaan Wijhatu Annazhar dari para ulama kita. Hal ini bukan berarti bisa ditarik kepada satu kesimpulan saja. Yaitu: Antara memaksakan kepada satu acuan satu pendapat saja.

 Sejenak; Menatap dengan Jeli
Dalam makalah sederhana ini, penulis ingin mengajak kita sejenak untuk menilik lebih dalam. Antara kata Ihtifal dengan Adzdzikru. Karena kedua kata ini memiliki konotasi maksud yang ada nuansa bedanya. Kalau penulis lebih cenderung untuk menggunakan kata Adzdzikru dalam mengangkat beberapa momentum dalam sejarah Islam. Karena kata Adzdzikru lebih mampu membatasi ruang lingkup perbedaan dari pada Ihtifal.
Di samping dua kata di atas hanyalah dalam bentuk konotasi etimologi. Tapi tidak salah juga bila kita relasikan dengan kandungan dari tema yang sedang kita angkat. Yaitu: Adzdzikru Bi Mauludi Annabi. Nah, sekarang kita mencoba untuk membahas sekilas seputar “Perayaan” dengan Lahirnya rasulullah Saw.. Dengan memomohon rahmat dan taufiq-Nya, penulis dengan segala keterbatasan mencoba untuk memaparkan secara sederhana saja. Wallahu al-Musta’an.

 Sejarah Munculnya Perayaan Maulud Nabi

• تاريخه:
إن الناظر في السيرة النبوية وتاريخ الصحابة والتابعين وتابعيهم وتابع تابعيهم بل إلى ما يزيد على ثلاثمائة وخمسين سنة هجرية لم نجد أحدا لا من العلماء ولا من الحكام ولا حتى من عامة الناس قال بهذه العمل أو أمر به أو حث عليه أو تكلم به .
قال الحافظ السخاوي في فتاويه :"عمل المولد الشريف لم ينقل عن أحد من السلف الصالح في القرون الثلاثة الفاضلة وإنما حدث بعد".أهـ( )
إذن السؤال المهم : " متى حدث هذا الأمر –أعني المولد النبوي-وهل الذي أحدثه علماء أو حكام وملوك وخلفاء أهل السنة ومن يوثق بهم أم غيرهم ؟"
والجواب على هذا السؤال عند المؤرخ السني ( الإمام المقريزي ) رحمه الله :
• يقول في كتابه الخطط ( 1/ ص 490وما بعدها):" ذكر الأيام التي كان الخلفاء الفاطميون يتخذونها أعياداً ومواسم تتسع بها أحوال الرعية وتكثر نعمهم"
• قال:" وكان للخلفاء الفاطميين في طول السنة أعياد ومواسم وهي مواسم( رأس السنة)،ومواسم ( أول العام )،( ويوم عاشوراء) ،( ومولد النبي صلى الله عليه وسلم ) ، ( ومولد علي بن أبي طالب رضي الله عنه ) ، ( ومولد الحسن والحسين عليهما السلام )، ( ومولد فاطمة الزهراء عليها السلام )،(ومولد الخليفة الحاضر )، ( وليلة أول رجب ) ، ( ليلة نصفه ) ، ( وموسم ليلة رمضان ) ، ( وغرة رمضان )،(وسماط رمضان)،( وليلة الختم )،( وموسم عيد الفطر )،( وموسم عيد النحر )،( وعيد الغدير)،( وكسوة الشتاء)،( وكسوة الصيف )،( وموسم فتح الخليج )،( ويوم النوروز)،(ويوم الغطاس) ، ( ويوم الميلاد ) ،( وخميس العدس) ، ( وأيام الركوبات )"أ.هـ. Umat Islam sekarang tidak mengambil semuanya
• وقال المقريزي في إتعاظ الحنفاء(2/48)سنة (394):
"وفي ربيع الأول ألزم الناس بوقود القناديل بالليل في سائر الشوارع والأزقة بمصر".
• وقال في موضع آخر (3/99)سنة (517):
"وجرى الرسم في عمل المولد الكريم النبوي في ربيع الأول على العادة".وانظر (3/105).
• ووصف المقريزي هيئة هذه الاحتفالات التي تقام للمولد النبوي خاصة وما يحدث فيها من الولائم ونحوها ( أنظر الخطط1/432-433 ، صبج الأعشى للقلقشندي3/498-499).
• ومن النقل السابق تدبر معي كيف حُشِر المولد النبوي مع البدع العظيمة مثل:
-بدعة الرفض والغلو في آل البيت المتمثل في إقامة مولد علي وفاطمة والحسن والحسين رضي الله عنهم.
وسيأتي مزيد بسط لبيان أن الدولة العبيدية التي تدعي أنها فاطمية: بأنها دولة باطنية رافضية محاربة لله ولرسوله ولسنته ولحملة السنة المطهرة .
- بدعة الاحتفال بعيد النيروز وعيد الغطاس وميلاد المسيح وهي أعياد نصرانية .
يقول ابن التركماني في كتابه" اللمع في الحوادث والبدع" (1/293-316 ) عن هذه الأعياد النصرانية :"فصل ومن البدعة أيضا والخزي والبعاد ما يفعله المسلمون في نيروز النصارى و مواسمهم و الأعياد من توسع النفقة " قال :" وهذه نفقة غير مخلوفة وسيعود شرها على المنفق في العاجل والآجل " وقال : " ومن قلة التوفيق والسعادة ما يفعله المسلم الخبيث في يعرف بالميلادة ( أي ميلاد المسيح) ".، ونقل عن علماء الحنفية أن من فعل ما تقدم ذكره ولم يتب منه فهو كافر مثلهم .وذكر عدد من الأعياد التي يشارك فيها جهلة المسلين النصارى وبين تحريمها بالكتاب والسنة ومن خلال قواعد الشرع الكلية .

• ذكر من أبطلها من خلفاء الدولة العبيدية الفاطمية:

قال المقريزي في خططه (1/432):"وكان الأفضل بن أمير الجيوش قد أبطل أمر الموالد الأربعة : النبوي ، والعلوي ، والفاطمي ، والإمام الحاضر وما يهتم به وقدم العهد به حتى نسي ذكرها فأخذ الأستاذون يجددون ذكرها للخليفة الآمر بأحكام الله ويرددون الحديث معه فيها ويحسنون له معارضة الوزير بسببها وإعادتها وإقامة الجواري والرسوم فيها فأجاب إلى ذلك وعمل ما ذكر.."أ.هـ
فعلى هذا أول من أحدث ما يسمى بالمولد النبوي هم بنو عبيد الذين اشتهروا بالفاطميين ( ).

Dalam bentangan sejarah sejak rasululullah Saw. wafat hingga berlalunya periode sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in, hingga berkuasanya Daulah Fathimiyyah, kita tidak menemukan pernahnya diangkat perayaan hari lahirnya rasulullah Saw..
Sejarah munculnya diangkat perayaan Maulud Nabi awalnya diadakan oleh Daulah Fathimiyyah. Di mana pusat kekuasaannya yatiu di Mesir. Sebagian ulama mengomentari kenapa peristiwa dijunjung tinggi oleh Fathimiyyah “Tujuannya adalah menarik hati umat Islam agar lebih simpatik kepada mereka, dan menampilkan secara perform bahwa mereka sangat mencintai rasulullah Saw.. Di samping Daulah mereka adalah: pemerintahan yang tak terlepas dari unsur-unsur Zindiq, Ilhad yang dibingkai di bawah syi’ar nuasa kesyi’ah-an dan cinta Alu al-Bait.

 Perspektif Para Ulama Kita
Menanggapi perayaan dalam rangka memperingati Maulud Nabi Saw., para ulama kita berbeda pendapat dalam hal ini. Antara yang membolehkan, bahkan mengharuskan. Dan bahkan ada yang mengharamkan secara mutlak. Artinya menganggap hal tersebut merupakan bid’ah baru yang mengotori kesucian ajaran Islam. Berikut dengan ringkas penulis paparkan dengan ringkas sekilas perspektif para ulama kita:

 Mereka yang Berpendapat ‘Bid’ah’.
Ada beberapa buku yang sempat penulis buka. Meskipun tidak sempat semuanya dibaca, tapi secara global kita simpulkan dari beberapa tulisan tersebut: Bahwa para ulama yang berpendapat perayaan maulud Nabi tersebut merupakan bid’ah mengacu kepada beberapa dalil. Diantranya:
{ اتخذوا أحبارهم ورهبانهم أربابا من دون الله } لأننا نحن ننظر إلى أن هذه البدعة وغيرها داخلة أولاً في عموم الحديث السابق "كل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار" وثانيا ننظر إلى أن موضوع البدعة مربوط بالتشريع الذي لم يأذن به الله عز وجل كما قال تعالى { أم لهم شركاء شرعوا لهم من الدين ما لم يأذن به الله }
Ke Dua: Tidak pernahdilakukan oleh generasi salafu ashshaleh. Seperti para sahabat, dan generasi sesudah mereka. Kalau digolongkan kepada Mandub tidak pas. Karena suatu yang sunnah merupakan ada landasan syar’i yang menuntunnya dan tiada sangsi ketika meninggalkannya. Dan tidak cocok bila dikatakan suatu hal yang mubah. Karena Ibtida’ bukanlah mubah menurut jumhur umat Islam.
Kalu penulis boleh simpulkan. Rata-rata para ulama kita yang mengatakan perayaan tersebut merupakan bid’ah yang harus dijauhi, beralasan kepada Al-Ghuluw terhadap rasulullah Saw.. Dan, Al-Israf Wa Attabdzir dalam kacamata Islam.

 Ulama yang Membolehkan
Tidak sedikit para ulama kita yang berpendapat bahwa peringatan Maulid Nabi merupakan suatu hal yang dibolehkan dalam agama kita. Bahkan diantara mereka ada yang sampai menggunakan bahasa ”Sebuah keharusan”. Seperti Syekh Muhammad Mushthafa Asysyanqithi dalam tulisan beliau di majalah Annadwah. Dengan beberapa alasan, diantaranya:
Pertama; Diterimanya oleh umat Islam sejak ratusan tahun yang silam.
Kedua; Pembagian Imam Al-’Iz bin Abdussalam tentang bid’ah kepada Ahkam Asysyari’ah al-khamsah.
Ketiga; Ungkapan Umar bin Khaththab r.a tentang masalah shalat tarwih ”Ni’matulbid’a”.
Keempat; Ungkapan Umar bin Abdul Aziz rahimahullah ”Tahaddats Linnas aqdhiyyah baqadari ma ahdatsu minalfujur”.
Ada tulisan –menarik– terbaru yang sempat penulis baca dalam majalah Al-Risalah tentang hukum Maulud Nabi Muhammad Saw.. Ditulis oleh Ustadz Abdul Qadir Ahmad Abdul Qadir. Menurut beliau hari kelahiran rasulullah Saw. merupakan Ayyamullah yang terkandung pada firman Allah Swt. dalam surat Ibrahim ayat: 5.

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami, (dan Kami perintahkan kepadanya): "Keluarkanlah kaummu dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah." Sesunguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur.

Menurut sebagian para mufassirin, seperti Imam Asysyaukani rahimahullah dalam tafsir beliau Fathu Al-Qadir, maksud dari kata Ayyamillah pada ayat ini adalah kejadian-kejadian yang biasa diambil ibrah dan pelajaran di dalamnya. Seperti ungkapan beliau dalam menafsirkan ayat tersebut “Ay Bi waqaai’ihi… Al-‘arab Taqulu al-Ayyam fi ma’na al-waqaa’i’, Yuqalu: Fulan a’lamu biayyami al’arab, aw Waqaa’I’aha… Wabini’amillahi ‘alaihim…”.
Ustadz Abdul Qadir menambahkan “Apabila wajhu addilalahnya peringatan maulud nabi ini adalah tidak pernah dilakukan oleh para sahabat. Bagaimana dengan buku-buku sirah. Bukankah para sahabat juga tidak pernah menulis kutubussirah tersebut? Berarti buku-buku tersebut juga bid’ah? Ini mirip halnya dengan perayaan hari ‘Asyura. Hari di mana Nabi Musa a.s diselamatkan dari kejaran Fir’un dan bala tentaranya. Umat Islam berbuasa dalam momentum ini. Rasulullah Saw. menegaskan ’Nahnu kita Aula Bi Musa Minkum’ ”.
Menurut Ustadz Abdul Qadir, ada beberapa alasan untuk membantah pendapat yang mengatakan Maulud Nabi merupakan bid’ah. Diataranya:
Pertama: Momentum hari-hari kebesaran dalam Islam bukanlah termasuj ke dalam hal-hal ibadah yang bersifat tauqifiyyah.
Kedua: Berpatokan kepada dalil bahwa para sahabat dan tabi’in tidak pernah melakukan peringatan dengan Al-munasabat al-Imaniyyah –Ayyamillah– bertentangan sekali dengan kaedah ’Al-Ashlu Fi Al-Asyyaa’ Al-Ibahah Ma Lam Yarid Nashshun Bittahrim’.
Ketiga: Pengharaman terhadap masalah ini merupakan hukum tanpa nash yang sesuai. Bahkan termasuk Qaulun ’alallahi bighairi ’ilmin.
Keempat: Perintah Allah Swt. kepada Musa a.s untuk memberikan peringatan kepada kaumnya tentang Ayyamillah. Dan perintah tersebut merupakan perintah juga terhadap kita. Karena tidak ada dalil yang menasakhnya”.

 Prolog: Pendapat Penulis
Hidup di zaman serba semuanya –bisa– terjadi. Jauh dari nilai-nilai perjuangan. Apalagi bila kita bandingkan dengan kehidupan salafuna ashshaleh dulu. Yaitu di mana nilai-nilai Islam masih dijunjung tinggi, semangat mengidolakan rasululullah Saw. terpatri di sanubari mereka. Kemudian terwujud dalam bentuk ritual dan keseharian. Sungguh bila kita bandingkan dengan zaman sekarang, maka nilai-nilai ini yang sudah semakin pudar dari generasi belakangan. Hari-hari penuh sejarah yang diukir oleh pejuang terdahulu dengan warisan emas kegemilangannya, tidak lagi dikenang. Bahkan dibiarkan begitu saja berlalu tanpa ada nilai penghargaan sedikitpun.
Menurut kami, keterbelakangan umat kita di antara penyebabnya adalah: Tidak mengenalnya mereka terhadap generasi terbaik terdahulu. Dan minimnya semangat mengkaji sejarah perjuangan generasi terbaik. Maka hal ini merupakan salah-satu sebab jauhnya umat ini dari nilai-nilai keislaman. Bahkan, kelalaian mereka semakin parah apabila tidak diberikan peringatan yang mampu mengumpulkan mereka dalam satu moment yang menghadirkan banyak orang. Seperti halnya maulud Nabi Muhammad Saw..

”Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman”.

Islam merupakan ajaran yang sangat bijak dan relevan dengan perkembangan waktu dan tempat. Dan ajaran yang agung ini selalu mengacu kepada rambu yang paling tepat dan menjanjikan. Tidak Ifrath dan bukan juga ajaran yang mengandung nuansa Tafrith. Karena kedua hal ini bukanlah dari Islam.
Apabila kita teliti. Maka dua kata di atas hanya ada dalam agama Nashrani dan Umat Yahudi. Karena di samping mereka terlalu mensucikan para nabi. Di sisi lain terlihat mereka sangat merendahkan bahkan membunuh para Nabi. Akan tetapi Islam tidak seperti itu. Islam sangat menghargai semua para nabi. Orang yang membeda-bedakan para anbiya’ berarti menunjukkan tidak sempurnanya iman seseorang. Sebagaimana termaktub dalam surat Al-Baqarah, ayat: 285.

"...Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya...".

Menurut kami, moment kelahiran manusia paling agung di dunia ini, dan hamba yang paling dicintai oleh Allah Swt., yaitu Muhammad Saw.. Merupakan hari yang paling bersejarah bagi umat Islam. Bahkan alam dan seisinya. Karena dengan lahirnya beliau ke dunia ini, merupakan titik awal datangnya penerang kegelapan. Dan penyinar hidayah bagi kesesatan se antero dunia ini. Mengapa tidak? Beliaulah penutup sekalian para nabi. Pembawa risalah paling mulia. Islam. Nah, peringatan yang diangkat oleh belahan dunia Islam saat ini, apabila terjauh dari unsur-unsur yang diharamkan oleh Islam, maka itu baru termasuk kepada bab yang dilarang. Namun, apabila hal-hal di bawah ini dipenuhi dalam Dzikru Maulud Nabi Saw. tersebut, menurut penulis merupakan suatu hal yang mengandung banyak nilai postivnya. Seperti:
1. Diangkat dengan niat mengenang jasa perjuangan rasulullah Saw.. Dengan itu istisy’ar mahabbaturrasul Saw. akan lebih menjiwa di hati umat.
2. Peringatan maulud tersebut jauh dari anggapan ibadah yang masyru’ dalam Islam. Artinya jangan sampai mengnanggap itu merupakan syari’at yang wajib diadakan.
3. Harus jauh dari Al-Ghuluw dan Israf serta mubadzir. Karena ketiga perbuatan tersebut bukanlah dari Islam. Dan bukan termasuk cara yang dicintai rasulullah Saw.. Seperti yang terjadi di sebagian kalangan Tarekat dan Sufi yang.
4. Menajadikan momen tersebut sebagai lahan amal silaturrahim. Karena peringatan tersebut merupakan salah-satu sarana yang mampu mengumpulkan banyak orang yang berasal dari berbagai kalangan dan elit. Sehingga terjalinnya hubungan harmonis penuh nuansa persaudaraan sesama umat Islam. Karena Islam juga menuntun kita untuk itu “Afsyussalam, Washilul Arham Waath’imuththa’am...”.
5. Menjadikan momen tersebut sebagai wasilah untuk menyampaikan dakwah Islam kepada semua lapisan masyarakat. Dan himbauan –kepada mereka– agar mempelajari sirah rasulullah Saw..

Demikian makalah sederhana ini penulis paparkan. Masukan, kritikan dan bimbingan ke arah yang membangun sangat penulis nantikan dari kita semua. Mari, bersama Islam menuju kehidupan yang rabbani. Menapaki jalan perjuangan baginda rasululullah Saw.. Hanya di jalan dan untuk dakwah-Nya. Agar kita termasuk ke dalam kafilah para pejuang yang diabadikan sejarah. Allahumma Alhimna Al-Rusyda Warzuqna Al-Ikhlasha Wa Al-Qabul, amin. Wallahu a’lam bishshawab.


Mutsallats, Kairo, Selasa 10 April 2007.
Al-Faqier Ilallah:


Abu Ubaidah Al-Hasan, Lc


0 komentar: